Redaksi | Internasional | Juni 2025
Kebijakan perdagangan dan perpajakan terbaru dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali menjadi sorotan publik. Kali ini, kebijakan tarif impor yang diberlakukan secara sepihak mulai memberikan dampak nyata terhadap berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia. Secara sepihak Presiden AS ini menerapkan tarif impor pajak ke Indonesia sebesar 32%.
Trump menerapkan pendekatan yang ia sebut sebagai “keseimbangan tarif timbal balik” terhadap negara-negara yang dianggap menguntungkan diri lewat ekspor ke pasar AS. Salah satu negara yang masuk daftar itu adalah Indonesia, yang kini menghadapi tarif impor baru dari AS terhadap sejumlah produk unggulannya seperti kelapa sawit, karet, dan produk logam olahan.
Apa Dampaknya Bagi Indonesia?
Tarif tinggi ini membuat produk-produk seperti kelapa sawit, komoditas logam, dan hasil industri manufaktur dari Indonesia menjadi lebih mahal di pasar Amerika. Eksportir dalam negeri mengaku mulai kehilangan kontrak dari buyer AS, yang kini beralih ke negara-negara pemasok dengan tarif lebih rendah.
Para pengamat memperingatkan bahwa jika situasi ini berlangsung lama, maka penerimaan negara—terutama dari pajak ekspor dan industri turunan—akan tergerus cukup signifikan. Tak hanya itu, penurunan kinerja ekspor juga berisiko menimbulkan efek domino terhadap lapangan kerja, investasi sektor pengolahan, hingga stabilitas neraca dagang Indonesia.
Respons Pemerintah: Diversifikasi Pasar dan Percepatan Hilirisasi
Menanggapi tekanan ini, pemerintah bergerak cepat. Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan langsung merancang langkah-langkah penanggulangan, termasuk:
-
Mendiversifikasi pasar ekspor ke wilayah Asia Selatan, Afrika, dan Timur Tengah.
-
Mempercepat program hilirisasi industri dalam negeri untuk menciptakan produk bernilai tambah tinggi.
-
Meninjau ulang perjanjian dagang bilateral, serta mendorong kerja sama baru yang lebih adil dan strategis.
Tak hanya itu, pemerintah juga menyiapkan insentif fiskal untuk mendorong sektor-sektor yang terdampak langsung agar tetap bertahan dan berproduksi.
Reaksi Dunia Usaha dan Ekonom
Pelaku usaha dalam negeri berharap pemerintah bisa melakukan negosiasi dagang langsung dengan AS atau melalui jalur multilateral untuk meninjau ulang kebijakan tarif tersebut. Sementara itu, para ekonom menilai bahwa ini adalah momen krusial bagi Indonesia untuk benar-benar memperkuat daya saing produk ekspor dan tidak lagi bergantung pada pasar besar tunggal.
Momentum Koreksi Arah Perdagangan Nasional
Tarif 32% dari AS bukan sekadar angka—ia mencerminkan tantangan baru dalam lanskap perdagangan global yang kian keras dan politis. Indonesia dihadapkan pada pilihan: diam dan menerima kerugian, atau bangkit dengan strategi jangka panjang yang berdaulat dan inklusif.
Kebijakan ini menjadi sinyal bagi pemerintah dan pelaku usaha untuk memperkuat fondasi ekonomi dalam negeri, memperluas pasar non-tradisional, dan mengembangkan industri yang berorientasi pada nilai tambah, bukan hanya ekspor bahan mentah.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto beberapa waktu lalu juga sudah berupaya bernegosiasi Trump dengan berjanji menambah impor dan investasi ke Amerika Serikat (AS) hingga US$34 miliar atau Rp551 triliun (asumsi kurs Rp16.206,38 per dolar AS) agar lolos dari serangan tarif 32 persen itu. Namun Trump berdalih bahwa Indonesia sudah melakukan ‘kecurangan’ dagang terhadap AS.
Berikut ini adalah surat tarif dari Presiden Donald Trump yang ditujukan ke pemerintah dibawah komando Presiden Prabowo :